Minggu, Agustus 03, 2008

Bersyukur atas Keturunan

Berbagai kesulitan mungkin pernah kita alami dalam hidup. Mulai dari masalah keuangan, kesulitan memperoleh keturunan, masalah kesehatan yang berkepanjangan, dan lain-lain. Masalah-masalah tersebut bisa membuat kita putus asa karena seakan tak ada jalan keluar.

Kali ini saya akan membahas masalah kesulitan memperoleh keturunan. Masalah ini banyak terdapat di sekitar kita. Bahkan kakak perempuan saya sendiri pernah mengalaminya dan akhirnya memperoleh keturunan setelah lebih dari lima tahun menikah.

Saya coba memberanikan diri menulis ini karena ingin sekali melihat orang bahagia. Kebahagiaan mendapat keturunan sudah saya rasakan. Kini saya ingin melihat orang merasakan kebahagiaan yang sama. Itulah indahnya berbagi kebahagiaan. Mungkin dengan cara ini saya bisa lebih bersyukur.

Beberapa kali saya ngobrol dengan teman-teman yang mempunyai masalah seperti ini. Mereka sebagian bingung harus bagaimana untuk mendapatkan keturunan. Ada yang sudah sampai tahap hampir putus asa karena sudah mencoba berbagai cara.

Kita mulai dari menyadari bahwa anak itu adalah rejeki dari Allah. Itu pemberian. Kalau kita lihat di Al Qur'an, bukan cuma manusia biasa mengalami masalah seperti ini. Nabi pun juga mengalaminya. Cerita berikut adalah tentang nabi Zakaria.

هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاء


Di sanalah Zakaria mendo`a kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do`a".(Ali-Imraan: 38)

فَنَادَتْهُ الْمَلآئِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَـى مُصَدِّقاً بِكَلِمَةٍ مِّنَ اللّهِ وَسَيِّداً وَحَصُوراً وَنَبِيّاً مِّنَ الصَّالِحِينَ

Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): "Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh."(Ali-Imraan: 39)

Dan yang berikut ini cerita nabi Ibrahim yang belum mendapat keturunan hingga masa tuanya.

فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُوا لَا تَخَفْ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ

(Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata: "Janganlah kamu takut," dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishaq). (Adz-Dzaariat: 51)

Jadi jangan berkecil hati. Kita manusia biasa. Nabi saja yang dekat dengan Allah dan disayang Allah diuji dengan ujian terlambat mendapat keturunan. Apalah kita dibandingkan nabi?

Dari contoh di atas diajarkan untuk berdo'a agar memperoleh keturunan. Kita tinggal berdo'a dan yakin akan dipenuhinya do'a kita karena Allah telah berjanji untuk memenuhi do'a kita. Keyakinan kita harus bulat tanpa ragu-ragu sedikitpun. Jangan berpikir bagaimana caranya itu akan terwujud. Biarlah Allah yang memberikan jalannya.

Untuk mempercepat terkabulnya keinginan kita tersebut kita harus memelihara keyakinan akan dikabulkannya permintaan kita. Untuk itu kita bisa menanamkan dalam hati kita keyakinan itu. Jika keraguan muncul maka balikkanlah perasaan itu. Kembalikan keyakinan kita yang teguh dan bulat akan terpenuhinya permintaan kita.

Bayangkan bahwa seolah-olah keturunan yang kita minta sudah kita dapatkan. Bayangkan dalam pikiran kita bagaimana bahagianya kita mendapatkan keturunan yang sehat dan normal. Bayangkan lucunya seorang bayi dalam gendongan kita. Lakukan ini berulang-ulang setiap hari. Ini bisa menjaga keyakinan kita akan terwujudnya hal itu. Setelah itu ucapkanlah dalam hati "Alhamdulillah. Saya sudah mendapatkan keturunan/anak." Ini juga harus dilakukan berulang-ulang sambil membayangkan seorang bayi dalam gendongan kita. Hal ini penting. Lihat posting saya sebelumnya Bersyukur sebelum Menerima.

Selain itu perlu juga berpikir positif. Buang semua hal-hal negatif dalam pikiran kita. Tanamkan kebahagian dalam pikiran kita. Latihlah sikap ini setiap hari. Duduk atau berbaringlah dengan santai. Tutup mata dan bernapaslah dengan teratur. Lebih baik jika menarik napas dalam-dalam dari hidung dan buang perlahan dari mulut. Bayangkanlah hal-hal yang menyenangkan sambil bersyukur. Insya Allah hati menjadi tenang dan gembira. Ingat-ingatlah karunia yang sudah kita peroleh. Bersyukurlah dengan apa yang sudah kita miliki seperti kesehatan kita, pekerjaan kita, atau hal-hal lainnya yang sudah sepatutnya kita syukuri.

Perlu juga diingat bahwa segala sesuatu membutuhkan proses. Meskipun kadang-kadang proses dikabulkannya permintaan kita bisa terpenuhi dalam waktu singkat namun adakalanya membutuhkan waktu yang lebih lama. Untuk itu bersabarlah sambil terus meyakini bahwa apa yang kita minta pasti dikabulkan Allah.

Semoga Allah mengaruniai Anda dengan keturunan yang sehat dan normal yang kelak menjadi anak yang shaleh/shalehah dan cerdas.

Sabtu, Agustus 02, 2008

Bersyukur sebelum Menerima

Umumnya seorang muslim akan bersyukur setelah mendapat nikmat dari Allah SWT. Itu merupakan hal yang biasa. Sudah sewajarnya kita bersyukur atau berterima kasih bila diberi sesuatu. Lalu bagaimana yang tidak biasa?

Bersyukur ketika yang kita mohon belum nampak secara kasat mata oleh kita selaku manusia, itu yang tidak biasa. Lazimnya kata Alhamdulillah diucapkan setelah mendapat nikmat. Biasanya kita belum mengucapkannya bila belum merasakan atau mendapatkan nikmat tersebut.

Bagaimana kita bisa bersyukur atas sesuatu yang belum kita dapatkan? Pertanyaan itu mungkin saja muncul di benak Anda. Tapi bagi saya, janji Allah itu adalah mutlak. Tidak mungkin Allah ingkar janji.

Dan Tuhanmu berfirman:
"Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu." (Al Ghafir:60)

Jika kita yakin dan beriman bahwa janji Allah adalah mutlak dan pasti benar maka patutkah kita meragukannya? Keyakinan kita akan janji Allah dalam Al Qur'an merupakan keharusan. Jadi tidaklah berlebihan jika kita bersyukur setelah kita meminta (berdo'a) dengan penuh keyakinan bahwa permintaan kita pasti dipenuhi.

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Ibrahim :7)

Lantas, mengapa kita beranggapan bahwa bersyukur sebelum menerima itu tidak biasa? Coba perhatikan ilustrasi berikut.

Seorang sahabat datang ke rumah saya hendak berpamitan karena akan berangkat ke luar kota. Saya pun bertanya apakah dia sudah dapat tiket pesawat untuk keberangkatannya. Dengan senyum berseri dia berkata bahwa istrinya sudah memesan tiket kepada kenalannya dan sudah dijanjikan untuk mendapatkan tiket tersebut. Dari cara dia bercerita, dia sudah yakin sekali bahwa tiket itu bakal didapatnya oleh sebab itu dia nampak senang meski tiketnya belum dia terima.

Jika sahabat saya tersebut begitu yakinnya dengan janji manusia, mengapa kita tidak seyakin itu dengan janji Allah? Bukankah Allah berjanji untuk memperkenankan do'a kita? Jadi wajar saja jika kita bersyukur dan membayangkan bahwa permintaan kita kepada Allah pasti dipenuhi. Bagi saya, bersyukur kepada Allah sebelum kita melihat atau merasakan secara manusiawi apa yang kita minta adalah suatu jalan agar do'a kita lebih cepat dikabulkan Allah.

Sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari kita lazim mengucapkan terima kasih ketika kita meminta pertolongan kepada seseorang meskipun kita belum mendapatkan apa yang kita minta. Misalnya pada saat kita akan meminjam buku kepada teman kita. Kita pesan kepada teman kita tersebut untuk membawakannya besok. Kita mengucapkan terima kasih sebelumnya meski bukunya mungkin baru keesokan harinya dia berikan. Itu pun belum pasti karena belum terjadi. Jika kita berterima kasih kepada manusia atas sesuatu yang belum pasti maka sangat layaklah kita berterima kasih pada Allah yang pasti akan memenuhi permintaan kita.

Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi:

Aku bersama sangkaan hambaku padaku, dan aku menyertainya ketika ia telah berdoa pada ku. (HR: Muslim dan Tirmidzi dan Ahmad)